Selasa, 10 Maret 2015

Cerpen "Aku Bisa Sekolah"


AKU BISA SEKOLAH

Rumah tua berdindingkan sulaman bambu, genting berlumut dan berlantaikan tanah. Dengan pohon mangga besar sebagai peneduk dan kamuflase tempat tinggalku. Jeritan, tangisan dan canda tawa adik-adikku penyegar jiwa yang dirundung kenestapaan.Namaku RINA anak pertama dari lima bersaudara, aku duduk di kelas enam SDN CINTA BANGSA, mungkin semua akan terheran dengan banyaknya adikku, ya….adik-adikku duduk dikelas 4 bernama Anto, kelas 2 bernama Rahmat , Jono berumur 5 tahun dan Danu 2 tahun.
“Bu, sekarang sudah sore, biar Nana yang masak nasi ya bu?” ucap Rina. “Ya, nak tapi beras kita habis, kita Cuma punya singkong yang baru ibu ambil dari kebun?” jawab ibu pada Nana. “Biar Nana yang rebus ya bu?” menuju ke dapur.“Terima kasih nak?” sambil mengusap air matanya.
Bapak pulang dari pangkalan becaknya dengan muka kesal sambil marah- marah karena hari ini ia tidak dapat penumpang.
” Apes, bener- bener apes Aku hari ini?” menggaruk- garuk kepala. ”Apes kenapa toh pak?” Ibu penasaran. ”Seharian Aku mangkal, takku dapat penumpang satupun?”duduk bersandar. ” Belum rejeki kita pak?” ibu mengucapkan dengan lembut penuh pengertian. ” Jangan sok menceramahi bapak, bu! udah sekarang bapak mau mandi dulu!” pergi menuju Dapur. “Sekalian nanti kita shalat bareng ya pak?”. “Bapak, cape bu! Bapak mau langsung tidur” teriak bapak dengan lantang.
Malam ini keluargaku hanya makan sepotong singkong rebus, setelah usai menunaikan solat magrib dengan Ibu sebagai imam.
Keesokan harinya, sang ibu menangis dalam hati mendengar adik- adik Rina kelaparan, untung masih ada sisa singkong rebus semalam 2 potong dan dibaginya menjadi empat potong untuk si kecil. Rinapun tak sanggup menahan air matanya. “Maaf ya nak bagian untuk mu tidak ada?” ucap ibu sedih.“ Tak apa bu, Nana semalam niat untuk berpuasa!” mata Nana berkaca.“Syukurlah, mudah- mudahan puasamu barokah nak!” sambil berdoa dalam hati.“Amin…bu! Nana berangkat dulu ya bu” mengecup tangan ibu dan keluar rumah.
Dengan mengusap air mata Nana melangkahkan kakinya keluar rumah. Di dalam rumah ibu berfikir dari pada berdiam diri lebih baik memanfaatkan tenaganya untuk bekerja. Ya… bekerja apa saja yang penting halal dan bisa mengisi perut anak- anak. Jika menggantungkan diri pada Bapak kita akan mati kelaparan.Seketika setelah ketiga anaknya berangkat sekolah ibu membawa kedua buah hatinya yang lain pergi kesuatu tempat.
 “Sudah seminggu ini kamu pergi kemana saja bu, pulang selalu larut malam?” Tanya bapak.“ Ibu bekerja pak, mencari nafkah untuk makan anak- anak!” duduk untuk beristirahat. “ Bekerja?” dengan kagetnya. ”ya pak, ibu bekerja, ibu tidak bisa mengandalkan bapak yang selalu malas-malasan dan tidak pernah berhenti dari judi” keluh ibu. Bapak terduduk dan merenung “maafkan bapak, bu!”. “Sudahlah pak! anak- anak sudah mulai besar, kebutuhan mereka semakin banyak, bapak mengizinkan pekerjaan ibu inikan?”: ”Baiklah bu, selama ibu ikhlas menjalankannya dan bapak janji akan mencari uang juga agar anak- anak kita bisa makan dan sekolah tinggi.”.
Ketika jam istirahat Rina dan teman- temannya berbincang-bincang mengenai ujian yang akan mereka hadapi dan sekolah menengah yang akan mereka pilih. ”Na, kamu mau melanjutkan sekolah SMP kemana?” Tanya Riana. “Tidak tahu yan, makan saja susah apalagi untuk melanjutkan sekolah?” jawab Rina. “Kamu jangan patah semagat dong Na, kamu kan pintar, sayang kalau tidak melanjutkan sekolah!” memberi semangat. “Saya juga maunya seperti itu ingin sekolah tinggi biar bisa beliin ibu dan adik-adik rumah bagus!” seru Rina. “Wahhhhh…cita-citamu mulia banget Na!” Ujar Riana. “Aku salut na sama kamu!” kata Maria. “Aku saja belum kepikiran?” ucap Riana. “Jelas aja ga kepikiran otakmu kan kosong!” Santi tertawa dengan lepas. Semua anakpun ikut tertawa.
Jam istirahat telah habis bel masukpun berbunyi. Ibu Sinta masuk kelas dan memberikan materi untuk menghadapi ujian 3 bulan lagi.” Anak- anak kalian harus rajin belajar untuk menghadapi ujian tiga bulan lagi!” kata Ibu Sinta.Iya, bu!’ jawab siswa serempak. “Ibu punya kabar gembira buat kalian!”. Semua siswa penasaran dibuatnya. “kalian pasti penasaran! yayasan Peduli Bangsa akan mengadakan lomba cerdas cermat sekecamatan, semua mata pelajaran akan dilombakan dan tiap sekolah harus mengirimkan satu wakilnya dari kelas enam untuk             mengikuti perlombaan itu!”.”Nana bu!”Semua siswa serentak mengumandangkan Nana. “Ya kalian benar sekolah kita akan mengirimkan Nana untuk mengikuti lomba tersebut dan ibu yakin kita akan menang!”.”Saya bu?” Tanya Nana. “Ya kamu Na! Sapa lagi anak yang terpandai di sekolah ini!”. “Ya,,, jelas RINA PRATAMI!”  Riana Merangkul. “Kamu siapkan Na! demi sekolah ini” pinta Ibu Sinta.” baiklah bu, saya akan menjalankan amanat dengan baik!”. “Baguslah…. Itu baru sahabatku………he” Riana tertawa bangga.
Dengan melihat semangat ibu yang tinggi, bapak sebagai kepala rumah tangga menjadi sadar dan menjauhkan diri dari hal- hal yang dilarang agama. Bapak sudah mulai giat bekerja, bekerja apapun yang penting halal. Terkadang bapak bekerja sebagai kuli di pasar, mengecat tembok tetangga, mengali sumur bahkan jika menarik becak sedang sepi bapak memanfaatkan tenaganya untuk menanam singkong di kebun. Keluarga terutama ibu sangat bahagia melihat perubahan yang bapak lakukan. Aku tak tahu mengapa dan kapan yang terpenting bagiku keluargaku bahagia dan aku tetap bisa sekolah.
Senja memadam dengan datangnya rembulan. Bapak datang membawakan kami sesuatu dengan bungkusan yang ia bawa.“Assalamualaikum…..” Bapak membuka pintu rumah. “Walaikumsalam”seluruh keluarga menjawab. “Bapak bawakan kalian oleh-oleh, alhamdulilah hari ini bapak dapat rejeki” tersenyum. “Alhammdulilah ya pak!” seru ibu. “Rina juga senang bu, kita sudah tidak lagi kelaparan, Nana kasihan sama adik-adik yang sering nangis”. “Ya, nak maafkan ibu dan bapak ya” ibu berkaca-kaca. “Tapi sekarang walaupun kita masih hidup dalam kemiskinan yang  terpenting kita tidak kelaparan karena ibu dan bapak bekerja”. “Ya, Nana tahu tapi kenapa ibu jadi sering pulang larut malam, Nana khawatir bu sama keadaan ibu dan adik- adik” cemas Nana. “Ya nak, ibu mengerti tapi itulah pekerjaan ibu nak!”. “Ibu bekerja apa? Dimana?”. “Sudahlah Na yang penting pekerjaan ibu halal!”. “Sudah…sudah, oya kita semua shalat dulu lalu kita makan sama-sama bapak sudah bawakan kalian tempe bacem”.”Asyik……!” seru Anto.
Selama 3 minggu Nana belajar dengan rajin karena minggu depan adalah pertandingannya, selama itu juga Rina melihat perubahan dirumahnya, makanan selalu tersedia tidak lagi kelaparan, bapak semangat bekerja, ibu bapak membelikan baju baru dan sekarang yang membuatku bersemangat sekolah karena melihat ibu bekerja yang selalu pulang sore. Jika sudah besar nanti saya tidak akan membiarkan ibu bekerja dan meneteskan keringat sedikitpun.
 “Nak, makan dulu biar gak sakit” nasehat ibu.”Baik bu” jawab Nana.” Bapak dan adik- adikmu sudah makan duluan sekarang mereka sedang pergi ke pasar membeli buku buat Anto!”. “Ya…bu! bu……apakah ibu tidak cape bekerja seharian berangkat pagi dan pulang larut malam setiap hari?” Tanya Nana. Mengusap kepala Nana”demi kalian ibu tidak akan pernah merasa cape!”. “Terimakasih Bu! Nana janji akan berbakti pada ibu!”. “Baguslah… itu yang ibu harapkan kalian menjadi orang gede dan tetap rendah diri”.
Hari ini adalah perlombaan yang harus dihadapi Nana untuk mendapatkan beasiswa sekolah selama di SMP dari Yayasan Peduli Bangsa. Dengan lawan yang cerdas-cerdas dari 29 sekolah dasar lainnya. Dengan wajah berseri dan selalu mengumandangkan salawat Rina menyiapkan diri untuk pergi ke perlombaan itu. Pagi-pagi buta Rina bangun menunaikan shalat Subuh dan membantu ibu di dapur. Rina sadar walaupun ia akan ikut lomba bukan berarti melupakan kewajibannya membantu ibu di rumah. Jam eman pagi Nana berangkat karena acara dimulai jam setengah delapan, jarak tempat perlombaan dan rumah Rina cukup jauh. Ia, teman-teman dan guru berangkat dengan menggunakan mobil yang di sewa sekolah jadi ia harus menuju sekolah dahulu. Nanapun tahu, setelah anak-anaknya berangkat sekolah baru ibu dan kedua adiknya keluar dari rumah untuk bekerja.
“Bu, Nana pamit dulu! Doakan Nana ya bu?” mencium tangan dan memeluk ibu.“Ibu selalu mendoakan kamu nak semoga kamu dapat meraih cita- citamu dan menjadi orang, tidak seperti ibu bapakmu, Na!” menitikkan air mata. “Nana berangkat ya bu…..Assalamualaikum!”. Walaikumsalam, jangan lupa berdoa ya nak!”.
Dalam ruangan perlombaan di Kecamatan sangat menegangkan. Setiap pertanyaan yang diberikan juri membuat guru- guru dari semua sekolah menegang dan tidak hanya itu teman-teman peserta lombapun ikut panik serta terus menyemangati teman mereka. Perlombaan berlangsung hingga sore hari pukul lima sore. Dengan perjuangan, doa dan usaha akhirnya Rina Pratami dapat memenangkan perlombaan itu menjadi juara pertama dan berhak mendapatkan tropi yang akan disumbangkannya ke sekolah, biaya sekolah selama tiga tahun serta uang pembinaan sebesar sepuluh juta rupiah . Akhirnya Nana yang merupakan anak biasa saja bisa menjadi juara.
Ketika penyerahan tropi dari pihak panitia pada Rina, terjadi keributan diluar ruangan dan terdengar jeritan seorang ibu memanggil- manggil Rina. Akan tetapi dengan pakaiannya yang kumel, dekil dan kotor tidak diizinkan masuk oleh penjaga.
“Nana …anakku kamu memang anak sholeha nak! Selamat ya, ibu selalu mendoakanmu nak!” pengemis berteriak. “Lihat pak, ada pengemis ngintip- ngintip jendela jangan- jangan mau ngemis di dalam!”  penjaga 1 menunjuk pengemis. “Waduh gawat bisa- bisa kita yang kena semprot!”  Penjaga 2 berlari menuju pengemis. “Pergi sana…..dasar pengemis!” ujar penjaga 1. “ini ada uang Rp.5000,- sana ambil lalu pergi!” kata penjaga 2. “Tidak pak, saya tidak ingin uang itu saya ingin melihat anak saya! lihat dia menjadi juara!” pengemis menunjuk ke dalam sambil menangis”. “Saya bilang pergi ya pergi! cepat pergi dari sini jangan sampai saya bawa kamu ke polisi!” penjaga 1 mengancam.
Mendengar kegaduhan diluar semua orang yang ada di dalam ruangan itu keluar dan menyaksikan apa yang terjadi diluar. Begitu pula dengan Rina sang juara, ketika melihat sesosok ibu yang berpakaian kumel dengan menggendong anak balitannya dan memegang tangan seorang anak berumur lima tahun Rina langsung menangis dan  seketika itu ia memeluk pengemis itu. Ternyata pengemis itu adalah ibunya. Ibu yang selama ini bekerja untuk menghidupi anak- anaknya ternyata mencari nafkah sebagai pengemis. Oh…. ibu kau sungguh mulia demi anak- anakmu kau merendahkan dirimu mecari sesuap nasi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar