AKU BISA
SEKOLAH
Rumah tua berdindingkan sulaman bambu,
genting berlumut dan berlantaikan tanah. Dengan pohon mangga besar sebagai
peneduk dan kamuflase tempat tinggalku. Jeritan, tangisan dan canda tawa
adik-adikku penyegar jiwa yang dirundung kenestapaan.Namaku RINA anak pertama
dari lima bersaudara, aku duduk di kelas enam SDN CINTA BANGSA, mungkin semua
akan terheran dengan banyaknya adikku, ya….adik-adikku duduk dikelas 4 bernama
Anto, kelas 2 bernama Rahmat , Jono berumur 5 tahun dan Danu 2 tahun.
“Bu, sekarang sudah sore, biar Nana yang
masak nasi ya bu?” ucap Rina. “Ya, nak tapi beras kita habis, kita Cuma punya
singkong yang baru ibu ambil dari kebun?” jawab ibu pada Nana. “Biar Nana yang
rebus ya bu?” menuju ke dapur.“Terima kasih nak?” sambil mengusap air matanya.
Bapak pulang dari pangkalan becaknya
dengan muka kesal sambil marah- marah karena hari ini ia tidak dapat penumpang.
” Apes, bener- bener apes Aku hari ini?”
menggaruk- garuk kepala. ”Apes kenapa toh pak?” Ibu penasaran. ”Seharian Aku
mangkal, takku dapat penumpang satupun?”duduk bersandar. ” Belum rejeki kita
pak?” ibu mengucapkan dengan lembut penuh pengertian. ” Jangan sok menceramahi
bapak, bu! udah sekarang bapak mau mandi dulu!” pergi menuju Dapur. “Sekalian
nanti kita shalat bareng ya pak?”. “Bapak, cape bu! Bapak mau langsung tidur”
teriak bapak dengan lantang.
Malam ini keluargaku hanya makan
sepotong singkong rebus, setelah usai menunaikan solat magrib dengan Ibu
sebagai imam.
Keesokan harinya, sang ibu menangis
dalam hati mendengar adik- adik Rina kelaparan, untung masih ada sisa singkong
rebus semalam 2 potong dan dibaginya menjadi empat potong untuk si kecil.
Rinapun tak sanggup menahan air matanya. “Maaf ya nak bagian untuk mu tidak
ada?” ucap ibu sedih.“ Tak apa bu, Nana semalam niat untuk berpuasa!” mata Nana
berkaca.“Syukurlah, mudah- mudahan puasamu barokah nak!” sambil berdoa dalam
hati.“Amin…bu! Nana berangkat dulu ya bu” mengecup tangan ibu dan keluar rumah.
Dengan mengusap air mata Nana
melangkahkan kakinya keluar rumah. Di dalam rumah ibu berfikir dari pada
berdiam diri lebih baik memanfaatkan tenaganya untuk bekerja. Ya… bekerja apa
saja yang penting halal dan bisa mengisi perut anak- anak. Jika menggantungkan
diri pada Bapak kita akan mati kelaparan.Seketika setelah ketiga anaknya
berangkat sekolah ibu membawa kedua buah hatinya yang lain pergi kesuatu
tempat.
“Sudah seminggu ini kamu pergi
kemana saja bu, pulang selalu larut malam?” Tanya bapak.“ Ibu bekerja pak,
mencari nafkah untuk makan anak- anak!” duduk untuk beristirahat. “ Bekerja?”
dengan kagetnya. ”ya pak, ibu bekerja, ibu tidak bisa mengandalkan bapak yang
selalu malas-malasan dan tidak pernah berhenti dari judi” keluh ibu. Bapak
terduduk dan merenung “maafkan bapak, bu!”. “Sudahlah pak! anak- anak sudah
mulai besar, kebutuhan mereka semakin banyak, bapak mengizinkan pekerjaan ibu
inikan?”: ”Baiklah bu, selama ibu ikhlas menjalankannya dan bapak janji akan
mencari uang juga agar anak- anak kita bisa makan dan sekolah tinggi.”.
Ketika jam istirahat Rina dan teman-
temannya berbincang-bincang mengenai ujian yang akan mereka hadapi dan sekolah
menengah yang akan mereka pilih. ”Na, kamu mau melanjutkan sekolah SMP kemana?”
Tanya Riana. “Tidak tahu yan, makan saja susah apalagi untuk melanjutkan
sekolah?” jawab Rina. “Kamu jangan patah semagat dong Na, kamu kan pintar,
sayang kalau tidak melanjutkan sekolah!” memberi semangat. “Saya juga maunya
seperti itu ingin sekolah tinggi biar bisa beliin ibu dan adik-adik rumah
bagus!” seru Rina. “Wahhhhh…cita-citamu mulia banget Na!” Ujar Riana. “Aku
salut na sama kamu!” kata Maria. “Aku saja belum kepikiran?” ucap Riana. “Jelas
aja ga kepikiran otakmu kan kosong!” Santi tertawa dengan lepas. Semua anakpun
ikut tertawa.
Jam istirahat telah habis bel masukpun
berbunyi. Ibu Sinta masuk kelas dan memberikan materi untuk menghadapi ujian 3
bulan lagi.” Anak- anak kalian harus rajin belajar untuk menghadapi ujian tiga
bulan lagi!” kata Ibu Sinta.Iya, bu!’ jawab siswa serempak. “Ibu punya kabar
gembira buat kalian!”. Semua siswa penasaran dibuatnya. “kalian pasti
penasaran! yayasan Peduli Bangsa akan mengadakan lomba cerdas cermat
sekecamatan, semua mata pelajaran akan dilombakan dan tiap sekolah harus
mengirimkan satu wakilnya dari kelas enam untuk
mengikuti perlombaan itu!”.”Nana bu!”Semua siswa serentak mengumandangkan Nana.
“Ya kalian benar sekolah kita akan mengirimkan Nana untuk mengikuti lomba
tersebut dan ibu yakin kita akan menang!”.”Saya bu?” Tanya Nana. “Ya kamu Na!
Sapa lagi anak yang terpandai di sekolah ini!”. “Ya,,, jelas RINA
PRATAMI!” Riana Merangkul. “Kamu siapkan Na! demi sekolah ini” pinta Ibu
Sinta.” baiklah bu, saya akan menjalankan amanat dengan baik!”. “Baguslah…. Itu
baru sahabatku………he” Riana tertawa bangga.
Dengan melihat semangat ibu yang tinggi,
bapak sebagai kepala rumah tangga menjadi sadar dan menjauhkan diri dari hal-
hal yang dilarang agama. Bapak sudah mulai giat bekerja, bekerja apapun yang
penting halal. Terkadang bapak bekerja sebagai kuli di pasar, mengecat tembok
tetangga, mengali sumur bahkan jika menarik becak sedang sepi bapak
memanfaatkan tenaganya untuk menanam singkong di kebun. Keluarga terutama ibu
sangat bahagia melihat perubahan yang bapak lakukan. Aku tak tahu mengapa dan
kapan yang terpenting bagiku keluargaku bahagia dan aku tetap bisa sekolah.
Senja memadam dengan datangnya rembulan.
Bapak datang membawakan kami sesuatu dengan bungkusan yang ia
bawa.“Assalamualaikum…..” Bapak membuka pintu rumah. “Walaikumsalam”seluruh
keluarga menjawab. “Bapak bawakan kalian oleh-oleh, alhamdulilah hari ini bapak
dapat rejeki” tersenyum. “Alhammdulilah ya pak!” seru ibu. “Rina juga senang
bu, kita sudah tidak lagi kelaparan, Nana kasihan sama adik-adik yang sering
nangis”. “Ya, nak maafkan ibu dan bapak ya” ibu berkaca-kaca. “Tapi sekarang
walaupun kita masih hidup dalam kemiskinan yang terpenting kita tidak
kelaparan karena ibu dan bapak bekerja”. “Ya, Nana tahu tapi kenapa ibu jadi
sering pulang larut malam, Nana khawatir bu sama keadaan ibu dan adik- adik”
cemas Nana. “Ya nak, ibu mengerti tapi itulah pekerjaan ibu nak!”. “Ibu bekerja
apa? Dimana?”. “Sudahlah Na yang penting pekerjaan ibu halal!”. “Sudah…sudah,
oya kita semua shalat dulu lalu kita makan sama-sama bapak sudah bawakan kalian
tempe bacem”.”Asyik……!” seru Anto.
Selama 3 minggu Nana belajar dengan
rajin karena minggu depan adalah pertandingannya, selama itu juga Rina melihat
perubahan dirumahnya, makanan selalu tersedia tidak lagi kelaparan, bapak
semangat bekerja, ibu bapak membelikan baju baru dan sekarang yang membuatku
bersemangat sekolah karena melihat ibu bekerja yang selalu pulang sore. Jika
sudah besar nanti saya tidak akan membiarkan ibu bekerja dan meneteskan
keringat sedikitpun.
“Nak, makan dulu biar gak sakit”
nasehat ibu.”Baik bu” jawab Nana.” Bapak dan adik- adikmu sudah makan duluan
sekarang mereka sedang pergi ke pasar membeli buku buat Anto!”. “Ya…bu!
bu……apakah ibu tidak cape bekerja seharian berangkat pagi dan pulang larut
malam setiap hari?” Tanya Nana. Mengusap kepala Nana”demi kalian ibu tidak akan
pernah merasa cape!”. “Terimakasih Bu! Nana janji akan berbakti pada ibu!”.
“Baguslah… itu yang ibu harapkan kalian menjadi orang gede dan tetap rendah
diri”.
Hari ini adalah perlombaan yang harus
dihadapi Nana untuk mendapatkan beasiswa sekolah selama di SMP dari Yayasan
Peduli Bangsa. Dengan lawan yang cerdas-cerdas dari 29 sekolah dasar lainnya.
Dengan wajah berseri dan selalu mengumandangkan salawat Rina menyiapkan diri
untuk pergi ke perlombaan itu. Pagi-pagi buta Rina bangun menunaikan shalat
Subuh dan membantu ibu di dapur. Rina sadar walaupun ia akan ikut lomba bukan
berarti melupakan kewajibannya membantu ibu di rumah. Jam eman pagi Nana
berangkat karena acara dimulai jam setengah delapan, jarak tempat perlombaan
dan rumah Rina cukup jauh. Ia, teman-teman dan guru berangkat dengan
menggunakan mobil yang di sewa sekolah jadi ia harus menuju sekolah dahulu.
Nanapun tahu, setelah anak-anaknya berangkat sekolah baru ibu dan kedua adiknya
keluar dari rumah untuk bekerja.
“Bu, Nana pamit dulu! Doakan Nana ya
bu?” mencium tangan dan memeluk ibu.“Ibu selalu mendoakan kamu nak semoga kamu
dapat meraih cita- citamu dan menjadi orang, tidak seperti ibu bapakmu, Na!”
menitikkan air mata. “Nana berangkat ya bu…..Assalamualaikum!”. Walaikumsalam,
jangan lupa berdoa ya nak!”.
Dalam ruangan perlombaan di Kecamatan
sangat menegangkan. Setiap pertanyaan yang diberikan juri membuat guru- guru
dari semua sekolah menegang dan tidak hanya itu teman-teman peserta lombapun
ikut panik serta terus menyemangati teman mereka. Perlombaan berlangsung hingga
sore hari pukul lima sore. Dengan perjuangan, doa dan usaha akhirnya Rina
Pratami dapat memenangkan perlombaan itu menjadi juara pertama dan berhak
mendapatkan tropi yang akan disumbangkannya ke sekolah, biaya sekolah selama tiga
tahun serta uang pembinaan sebesar sepuluh juta rupiah . Akhirnya Nana yang
merupakan anak biasa saja bisa menjadi juara.
Ketika penyerahan tropi dari pihak
panitia pada Rina, terjadi keributan diluar ruangan dan terdengar jeritan
seorang ibu memanggil- manggil Rina. Akan tetapi dengan pakaiannya yang kumel,
dekil dan kotor tidak diizinkan masuk oleh penjaga.
“Nana …anakku kamu memang anak sholeha
nak! Selamat ya, ibu selalu mendoakanmu nak!” pengemis berteriak. “Lihat pak,
ada pengemis ngintip- ngintip jendela jangan- jangan mau ngemis di
dalam!” penjaga 1 menunjuk pengemis. “Waduh gawat bisa- bisa kita yang
kena semprot!” Penjaga 2 berlari menuju pengemis. “Pergi sana…..dasar
pengemis!” ujar penjaga 1. “ini ada uang Rp.5000,- sana ambil lalu pergi!” kata
penjaga 2. “Tidak pak, saya tidak ingin uang itu saya ingin melihat anak saya!
lihat dia menjadi juara!” pengemis menunjuk ke dalam sambil menangis”. “Saya
bilang pergi ya pergi! cepat pergi dari sini jangan sampai saya bawa kamu ke
polisi!” penjaga 1 mengancam.
Mendengar kegaduhan diluar semua orang
yang ada di dalam ruangan itu keluar dan menyaksikan apa yang terjadi diluar.
Begitu pula dengan Rina sang juara, ketika melihat sesosok ibu yang berpakaian
kumel dengan menggendong anak balitannya dan memegang tangan seorang anak
berumur lima tahun Rina langsung menangis dan seketika itu ia memeluk
pengemis itu. Ternyata pengemis itu adalah ibunya. Ibu yang selama ini bekerja
untuk menghidupi anak- anaknya ternyata mencari nafkah sebagai pengemis. Oh….
ibu kau sungguh mulia demi anak- anakmu kau merendahkan dirimu mecari sesuap
nasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar